Zat Perangsang & Obat Kuat, Tiwulkah?
Sekian tahun lalu saya akrab dengan Nasi Tiwul. Santapan spesial keluarga yang mesti diperlakukan secara istimewa. Apabila dimakan dengan kuah panas, nasi segera mekar beranjak becek seperti bubur. Begitu tanpa kuah, tenggorokan bakalan sulit menelan. Air liur tak cukup kuat menggelontorkan Nasi Tiwul turun ke lambung. Boleh jadi, Nasi Tiwul paling sedap apabila disandingkan dengan daging bekicot bumbu pedas sembari disiram sedikit kuah (nyemek-nyemek).
Cukup lama saya “puasa” makan Nasi Tiwul,
karena mesti berkelana meninggalkan kampung halaman untuk masuk keluar
hutan dan sesekali jadi Tarzan Kota. Meski kerapkali menguyah roti sagu
bundar berlauk ikan asin, tetapi kini perut saya paling sering dijelali
nasi beras pulen “rojolele”. Namun, serat daging saya terbangun
dari Nasi Tiwul. Akibatnya, bila urat ini bernyanyi rindu ingin segera
dipenuhi Nasi Tiwul, saya berusaha mencarinya sebisa mungkin.
Malam Minggu lalu, saya sengaja begadang ke kota dengan beberapa teman. Tempat yang paling saya sukai adalah bundaran (alun-alun).
Selain arena mencuci mata atas lalulalang para muda-mudi, di tempat itu
saya bisa mencecap sebungkus Nasi Tiwul ditemani urap-urap plus
gorengan Ikan Saluang. Anehnya, suasana seperti ini membangkitkan gairah
hidup saya. Dari sinilah saya suka berceloteh dengan sejumlah teman,
“Ternyata Nasi Tiwul Mengandung Zat Perangsang!” Di manakah letak “Zat Perangsang” itu ada?
Mari kita lihat uraian berikut:
Tiwul Memaksa Usaha Keras
Boleh dibilang, Nasi Tiwul bebas rasa. Para
pencecap hanya mementingkan kenyang. Sebab, begitu masuk perut, Nasi
Tiwul akan mekar. Jangan heran, makan sepiring bisa bikin kenyang
seharian. Namun, ternyata untuk menghasilkan makanan kelas rendahan ini,
orang mesti bekerja keras dengan mental super sabar. Pohon Singkong
harus ditanam di awal musim hujan dan dipanen pertengahan musim kemarau.
Selepas itu dikupas dan dijemur beberapa hari. Manakala tak terhalang
hujan sehingga jamuran, singkong kering lantas ditumbuk halus kemudian
dikukus (ditanak). Kalau sudah masak, diangkat untuk dijemur beberapa hari. Barulah nasi kering ini dimasak lagi untuk jadi Nasi Tiwul siap saji.
Saya lantas berkonklusi sederhana, rupanya
para penikmat Nasi Tiwul adalah para pekerja keras dengan mental super
sabar. Meski hasil akhir hanya sebatas “yang penting kenyang”,
namun mereka bisa bertahan hidup. Atau, ketika itu terkait dengan
situasi yang memaksa demikian, mereka tergolong orang-orang yang berani
berkeringat demi sebuah hidup tanpa nikmat. Sejurus saya berpendapat, di
sinilah letak “Zat Penguat” melampaui viagra
model apapun. Tak sekadar badan masih tetap kuat mencangkul lahan,
mental pun disemangati untuk tetap bersabar sampai mati.
Tiwul Identik Hidup Miskin
Telah banyak terungkap, Nasi Tiwul menggurita
di kantong-kantong kemiskinan. Manakala tananam berpotensi mahal tak
tumbuh, singkong menjadi alternatif unggulan. Tanah tandus adalah
persemaian paling unggul baginya. Apabila hasil panen berkisar di
kebutuhan perut, maka sekarang panen, tahun depan tanam lagi. Tidak
lebih dari perputaran seperti itu. Akibatnya tak bisa disangkal, di mana
ada Nasi Tiwul di situ ada kemiskinan.
Ketika masih bergulat dengan Nasi Tiwul, saya
tidak berpikir panjang. Namun, setelah cukup lama jauh darinya, saya
jadi terkesima. Nyatanya, hidup miskin yang secara otomatis tercipta,
tidak pernah mendorong lupa ingatan lantas beranjak merana kemudian
berlaku jahat. Hidup terasa aman-aman saja tatkala ada beberapa Nasi
Tiwul kering dalam karung. Hati sudah tenteram seraya berusaha mencari
temannya Nasi Tiwul biar tak sendirian apabila datang waktu makan. Makin
terasa lega saat ditutup seruputan kopi pahit plus gigitan gula jawa.
Nah, apakah ini bukan berarti dalam Nasi Tiwul ada “Zat Penguat” penawar kemiskinan? Saya kok bilang, “Iya. Benar!”
Merindukan Kembali Generasi Tiwul
Kini, saya sudah kena polusi “mie instan”.
Apa saja yang serba gampang menjadi buruan. Kalau bisa segera mendapat,
segera pula mencecap nikmat. Situasi masa kini telah memaksa saya untuk
tidak sabar terhadap segala situasi. “Ngapain sabar dengan hasil tak seberapa apabila bisa menangkap hasil luar biasa dalam waktu singkat?”
demikian kerap saya berpikir. Begitu mudahnya saya ingin cepat bebas
dari miskin dan tak mampu menikmatinya. Akibatnya, ketika saya mencabut
keadaan miskin dengan sembarangan, sebaliknya jiwa saya kaya malah
berubah menjadi miskin.
Begadang sembari makan Nasi Tiwul di
alun-alun Malam Minggu lalu telah membawa saya termenung sesaat. Saya
tak sekadar menguyah sedapnya masa lalu, tetapi juga dibenturkan dengan
keindahan Nasi Tiwul yang mengandung “Zat Penguat”.
Rupanya, saya mesti menggali arti hidup penuh kerja keras, meraih
keutamaan hidup sabar, dan bisa menikmati keunggulan hidup miskin.
Barangkali, saya lagi merindukan Generasi Tiwul tumbuh lagi. Atau, saya
lagi mimpi kangen pulang kampung?
Selamat Malam Minggu dengan Zat Penguat]
tag: [sumber berita: http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2012/03/03/ternyata-nasi-tiwul-mengandung-zat-penguat-super-hebat-444121.html]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Donasi saran dan kritiknya ya